Ular beroda besi yang dengan setia menyusuri rel-rel panjang dengan tak kenal lelah. Kerap kali saya bertanya, apakah rel-rel itu merasa kesepian? Menyusuri banyak tempat. Hutan, gunung, terowongan. Apakah sepasang rel itu pernah berbicara satu sama lain? Ah, entahlah.
Saya ingat, saat kecil saya beberapa kali pergi ke kota Malang naik kereta api. Sebenarnya, tidak benar-benar naik kereta api ke Malang. Saya dan keluarga naik kereta api ekonomi bernama Purbaya. Berangkat kira-kira jam enam pagi dari Stasiun Purwokerto. Kami akan turun di Stasiun Kertosono, timur kota Ngawi. Di Stasiun Kertosono inilah, rel jalur selatan akan bercabang. Ke kiri ke arah Surabaya, dan ke kanan ke arah Blitar, lalu Malang.
Tapi tidak, kami tidak meneruskan perjalanan ke Malang memakai kereta. Kami mencapai Malang memakai bus. :D
Kereta Purbaya sungguh jelek. Cat biru berpadu merah yang kusam dan atap yang menghitam. Kaca jendelanya pun pecah di sana sini. Melangkah ke dalam, ada bangku dengan busa yang tipis. Tanpa sandaran kepala. Hanya papan yang jadi bagian dari kursi dengan tinggi melebihi kepala.
Kamar mandinya pesing. Lantainya jauh dari kata bersih. Ditambah lagi, sepanjang perjalanan bakal banyak pengamen dan pedagang asongan. Jalannya lambat, seringkali dipaksa menunggu kereta dengan kelas lebih tinggi jika berlintasan. Gurauan kami dulu, di mana ada stasiun, di situ Purbaya akan berhenti dan menunggu kereta dari arah berlawanan melintas dahulu.
Beranjak dewasa, saya masih dan makin mencintai kereta api.
Saat sekolah menengah pertama dan menengah atas, saya beberapa kali pergi ke Yogyakarta. Berangkat pagi-pagi. Tak lagi menumpang Purbaya yang sudah almarhum. Kini ada reinkarnasinya, bernama KA Logawa. Tiket Purwokerto-Yogya dulu tiga ribu Rupiah (sekarang tarifnya dua puluh ribu Rupiah). Pulang dari Yogya sore hari, menumpang kereta yang sama, Logawa (tapi berbeda rangkaian, karena kereta ini berangkat dari Jember).
Suara lokomotif dan peluit petugas stasiun yang khas tak jarang terngiang di telinga. Kadang, saya melewatkan beberapa jam nongkrong di Stasiun. Ngapain? Tidak ngapa-ngapain. Hanya duduk, memandang rangkaian gerbong-gerbong yang datang dan pergi. Mengagumi keperkasaan lokomotif tua seri CC, dan juga menatap lekat-lekat lokomotif baru seri DD.
Menyaksikan para penumpang yang naik dan turun. Ada penumpang yang bersih parlente turun dari kereta kelas Argo. Ada pula bapak-bapak tua yang kumal turun dari kereta ekonomi yang buluk. Pun, ada mbok-mbok pedagang pecel lontong menjajakan jualannya. Waktu pun serasa terhenti di atas rel-rel perkasa itu.
Di dekat kantor saya, ada pintu perlintasan kereta api yang setiap hari saya lewati saat berangkat dan pulang kerja. Mungkin Anda akan merasa sebal kalau harus menunggu kereta lewat. Tapi saya justru senang bukan kepalang bila harus menunggu.
Matikan mesin motor, lalu bersandar di setang motor. Menatap si ular besi melintas. Ada kereta yang lewat dengan cepat, ada juga yang pelan. Menjejakkan roda-roda besi ke rel-rel baja. Menyenangkan sekali. Lokomotif, gerbong-gerbong renta, bau khas itu. Ah, romantisme saya pun melayang kembali ke masa lalu...