21.4.07

Angkara Menggeram Dari Dua Pucuk Pistol Cho


Hari itu, Senin 16 April 2007. Jam masih menunjukkan pukul 07.15 pagi. Kampus Virginia Tech yang teduh dan luas di Blacksburg, Virginia, AS, sungguh tenang. Perkuliahan baru akan dimulai pukul 08.00.

Tapi di lantai 4 asrama mahasiswa West Ambler, kegaduhan terjadi. Seorang pria, agak gemuk, berjalan dengan tergesa. Di dua tangannya, tergenggam dua pucuk pistol. Lelaki itu menyerang asrama yang dihuni 895 mahasiswa tersebut. Pistol sang penyerang menyalak, dan 2 orang pun tersungkur tewas di pagi celaka itu.

Pria itu tak berhenti di situ. Dua jam kemudian, ia kemudian juga menyerang Norris Hall, gedung kuliah yang selalu ramai oleh para mahasiswa. Apalagi di hari Senin. Suara tembakan bersipongang di seantero gedung. 30 nyawa dihabisi. Kemudian nyawa sang penyerang pun melayang oleh tembakan pistol empunya sendiri.

Adalah Cho Seung-hui yang melakukan semua kesadisan itu. Cho, pemuda imigran asal Korea Selatan itu. Usianya baru 23 tahun lewat 3 bulan.

Diantara 2 aksi pemberondongannya, mahasiswa jurusan Bahasa Inggris itu sempat mengirim paket ke sebuah stasiun televisi. Isinya, catatan sepanjang 1800 kata yang terkadang tidak saling berkaitan. Foto-foto dalam pose yang intimidatif. Serta klip video berisi sumpah serapah dan penuh dengan ancaman. Mungkin, ia ingin dunia tahu, mengapa ia sanggup melakukan kekejaman semacam itu.

Cho adalah pria yang marah. Ia frustasi dengan kehidupannya. Ia berasal dari keluarga miskin di Dobong-gu, Korea Selatan. Ia berimigrasi ke AS saat berusia 8 tahun, beserta ayah ibunya dan kakak perempuannya. Demi kehidupan yang lebih baik. Ayah-ibunya bekerja sebagai buruh di sebuah laundry di Washington DC.

Bertingkah aneh dan psikotik, Cho juga adalah buah dari sebuah masyarakat yang tidak beres. Komunitas yang menghakimi dan abai. Orang-orang yang menghina dan menjaga jarak. Dalam satu kelas, Cho diminta membaca. Ia bersuara pelan. Nyaris tak terdengar. Teman-teman sekelasnya menertawainya seraya berkata, "Kembali saja kau ke Cina!". Menggelikan untuk mereka, menyakitkan untuk Cho.

Cho tak punya teman. Ia penyendiri. Ia juga canggung. Sialnya, Cho hidup di sebuah negara yang mentradisikan bullying (menggencet) dalam dunia pendidikannya. Kutub siswa populer melawan kutub siswa pecundang. Yang pasti, yang dinistakan tentu saja yang pencundang. Ia marah melihat mahasiswa-mahasiswa kaya di sekitarnya. "Aku jengah melihat gaya hedonistik mereka. Aku takkan lari", demikian tulisnya penuh geram dalam surat yang ia kirimkan ke televisi.

Angkara itu menggeram. Lalu menyalak, menghambur keluar melalui peluru dari dua pistol Cho.

3 comments:

Anonymous said...

kenapa bulliying itu jadi tradisi mengakar di amerika? karena menurut penelitian, budaya amerika yang individualistis akan membentuk manusia yang mengutamakan kompetisi dan kepentingan individual. Mereka berniat untuk mengalahkan temannya walaupun hal itu sebenarnya tidak menguntungkan bagi mereka. (bab2TM)

Anonymous said...

tau ga, bullying yang dialami cho tuh parah loh.
bukan digencet" gitu, tapi DIACUHKAN.
dianggep ngga ada.
ga dipeduliin.
as if he doesn't really exist.

Priki said...

Jadi intinya adalah.....eksistensi itu penting, walaupun kaum yang minoritas (contoh kaum lengobh) butuh eksistensi, tapi emang bener, do not underestimate lengobh people in large number, Haihaihaihaihaihai