23.6.07

Prolog Panjang Untuk Sebuah Tekad Tetirah


I beleive that for his escape he took advantage of a flight of migrating wild birds
Halaman pembuka buku Pangeran Kecil karya Antoine de Saint-Exupery.
Gambar dibuat oleh sang pengarang sendiri

Hari-hari terakhir ini, jumlah batang rokok yang saya hisap makin bertambah banyak saja. Biasanya, saat stres sedang hinggap di benak, saya paling banter menghabiskan separo bungkus rokok putih itu. Belum melonjak hingga 2 bungkus per malam seperti yang pernah dialami teman saya. Tapi belakangan ini memang saya semakin merasakan tekanan dan hal itu membuat saya mencari pelarian.

Begitu banyak hal yang sedang saya pikirkan dan lakukan saat ini. Setidaknya, 3 hal utama. Yakni keluarga, kerja, dan kuliah (sedikit banyak menunjukkan urutan prioritas).

Saya tidak ingin mengeluh. Terutama untuk urusan yang pertama itu. Tapi, 2 hal terakhir itu saat ini rupanya sedang saling tarik menarik tak karuan.

Awal Juli nanti, hingga 2,5 bulan ke depan, saya akan menjalani KKN (Kuliah Kerja Nyata). Ah telat banget sih. Hare gene baru KKN? Sebenarnya, dengan posisi saya sebagai pekerja, saya beruntung bisa mengikuti program KKN yang tidak memakai menginap dan berlokasi di tengah kota. Aha...girang betul saya karena ada teman-teman saya mendapat lokasi di Kediri dan Madura.

Tapi kondisi demikian tidak lantas membuat segalanya berjalan beres dengan sendirinya. Ternyata, sedikit banyak jadwal KKN bentrok dengan jadwal kerja. Waduh...

Ah... malam ini badan dan pikiran penat betul untuk membayangkan situasi yang akan saya hadapi dalam 2,5 bulan ke depan. Sembari melihat saya mengisap tuhan sembilan senti itu, teman saya meminta saya menikmati malam-malam terakhir saya bisa berleha-leha dan bersantai. Karena mulai pekan depan, selesai kerja saya akan disibukkan KKN, dan mungkin juga, selesai KKN, saya kembali larut dalam kesibukan kerja. Waktu untuk bersantai, hampir-hampir nol!

Belum lagi, saya juga harus memikirkan nasib S thing saya yang sampai sekarang belum jalan juga. Saya harus dengan rajin dan telaten mulai sering-sering menemui bapak ibu dosen yang setia nongkrong di ujung utara lorong lantai 2 salah satu gedung di kampus saya, yakni ruang bagian Hukum Pidana. Mulai mendiskusikan judul dan proposal, dan bersiap menerima banyak coretan di draft.

Apakah gambaran di atas sudah cukup memusingkan Anda? Entahlah.

Saya tahu, Anda pasti akan memberi saran untuk berhenti berkeluh dan mulailah berpeluh mengerjakan semua beban itu. Syukurlah, otak saya masih cukup waras untuk bisa melakukan hal-hal yang memang seharusnya saya lakukan. Terimakasih untuk sarannya.

Karena itu, berkebalikan dengan rekan saya, dengan ini saya mengumumkan bahwa saya HIATUS dari kegiatan ngeblog. Toh, kehidupan akan tetap sama dengan ada atau tidaknya posting blog saya. Matahari akan tetap terbit dari timur dan terbenam di barat. Ayam masih saja akan rajin berkokok membangunkan Anda semua tiap fajar. Percayalah. Perang Irak pun tidak akan lantas berhenti esok.

Saya akan kembali jika memang saya merasa yakin prioritas yang saya susun sudah berjalan.

Malam ini, ijinkan saya meneruskan kenikmatan hari-hari kebebasan bermalas-malasan itu dengan membaca buku The Little Prince dalam versi Bahasa Inggrisnya. :D

Haiyah, mau hiatus aja kok prolognya pakai panjang-panjang tho, le, le...
--------
Gambar saya colong dari sini

9.6.07

Aku Selingkuh


Beberapa hari belakangan ini, hal-hal seputar kopi mengelilingi saya.

Ada seorang kolumnis yang sangat mencintai kopi dan mempersembahkan sebuah tulisan yang indah kepada seorang peracik kopi. Seorang barista. Ketika saya tanya siapa sang barista, ia cuma berucap pendek: "ada deh...", dengan penuh misteri.

Lalu, ada juga sahabat lama yang gemar sekali ngopi. Dia mengaku paling senang berkunjung ke rumah saya hanya buat nyeruput kopi. Bujangan yang satu ini sekarang sedang gemar membaca Filosofi Kopi (sebuah buku yang pencapaian literer dan estetiknya biasa saja, saya pikir). Saya yakin betul, gara-gara membaca buku karangan penulis perempuan satu itu, dia jadi kerap memasang avatar gambar secangkir kopi hitam di perpesanan Yahoo!-nya.

Sebenarnya, saya suka kopi dari kecil. Mencicipi pahit-manis minuman yang konon berasal dari sebuah negara di Afrika timur bernama Ethiopia ini, saya awali pada usia 11 atau 12. Kelas 6 SD, kira-kira.

Dulu saya hanya tahu kopi hitam alias kopi tubruk. Terbikin dari kopi yang disangrai sendiri oleh ibu saya. Kental. Dengan gula pasir ataupun gula kelapa, kopi bikinan tangan ibu saya ini sama enaknya.

Seperti ditulis Dee, kopi tubruk itu lugu dan sederhana. Tidak peduli penampilan serta kasar, tapi memiliki aroma tajam yang sangat nikmat.

Tapi semenjak kedatangan majalah gratisan ini, mulailah saya selingkuh dengan kopi jenis lain. Orang menyebutnya, espresso-based. Kopi yang coklat alih-alih hitam.

Latte, cappuccino, cappuccino Viennese-style, macchiato. Hanya sekedar menyebut nama-nama. Beberapa sudah saya cicipi. Kopi yang tidak lagi kasar dan sederhana. Lebih stylish, tampil lebih anggun. Kemasan menarik, dipadu dengan rasa yang tetap nikmat. Perpaduan yang sempurna, bukan?

Rupanya, perselingkuhan itu makin dalam. Saya terjebak dan tidak bisa lepas. Saya makin terobsesi dengan kopi espresso-based. Saya mencicip di sini dan di sana. Mencoba-coba jenis-jenis baru, membandingkan rasa dari satu coffeeshop dengan coffeeshop lainnya.

Di depan meja kerja, keterobsesian itu tak pudar. Saya mulai untuk menjelajahi jejaring web untuk mencari tahu bagaimana caranya meracik kopi selingkuh ini. Kemudian upaya untuk mencari tahu informasi tentang mesin espresso. Lalu membayangkan mampu membeli sebiji suatu saat kelak. Untuk dipakai di rumah. Agar kopi-kopi nikmat itu bisa menemani saya setiap hari. Entah kapan bisa terwujud, mengingat harga mesin-mesin itu yang masih cukup mahal.

Hingga kini, kerinduan akan kopi itu belum hilang. Sebuah Sabtu yang panjang sudah saya lewati tadi siang. Tapi sayang, tak ada secangkir kopi menemani saya malam ini...

------------------------------
PS, untuk seorang kawan:
Jadi, kapan kita ngopi? Segelas kopi panas akan menemani kita bicara panjang. Soal hidup, keragu-raguan dan perkara kegelisahan-kegelisahanmu itu. Masih menyitir Dee, di dalam kopi selalu terselip rasa pahit, sedikit ataupun banyak. Tak apalah. Bukankah hidup memang selalu seperti itu, kawan?

*Gambar dicolong dari sini