20.8.07

Mengukur Benwit

Kantor saya memasang provider internet baru. Niatnya buat backup layanan provider yang ini. Mengingat kerjaan kami makin banyak, tapi bandwidth yang ada sungguh mepet. Apalagi harus di-share sama kantor yang di Jakarta.


Si Spidi ini tenar karena banyak sekali keluhan yang mengarah padanya. Wah pokoknya nggak akan selesai saya jelasin di sini. Tapi tak ada ruginya mencoba. Toh saya nggak keluar duit sepeserpun

Beberapa hari awal pemakaian si Spidi ini, jalanan cukup lancar. Bahkan saya pamer kepada seorang fakir benwit, bahwa kantor kini lagi banjir benwit. Hahahaha.

Mengunduh ini-itu, membuka yang sebenarnya tidak boleh dibuka, dan beberapa hal lainnya yang muskil dilakukan dengan alokasi benwit yang lama.


Cari-cari info soal pengukuran benwit, saya menemukan link ini. Akhirnya saya ukur benwit layanan Spidi ini. Pengukuran dilakukan pada hari Senin, 20 Agustus 2007, Pukul 00.45 WIB.

Hasilnya, ini dia....


17.8.07

Nasionalisme Tak Sekedar Upacara



Kawan, nasionalisme tak sekedar pekik merdeka. Pun, tak sekedar upacara. Apa arti nasionalisme bagi kalian?

Harian KOMPAS terbitan Kamis, 16 Agustus 2007, memuat 62 pesan pendek (SMS) dari para pembacanya, yang berisi apa yang mereka lakukan sebagai bentuk nasionalisme terhadap negeri tercinta, Indonesia.

Saya kutipkan beberapa pesan yang menurut saya menarik.

"Dulu, selama 3 tahun. selain kuliah di UGM aku membantu jadi guru Bahasa Inggris di SD Jatisari Sleman tanpa dibayar. Aku tak mau kemiskinan struktural membelenggu murid-muridku untuk maju"
Thomas, 31 tahun, Semarang

"Walaupun aku gak bisa nerusin sekolah SMA dan sekarang bekerja tapi aku akan berusaha belajar dari media apapun yang bisa membuat aku tidak bodoh"
Rastikawati, 18 tahun, Jakarta

"Saya terjun ke kelompok-kelompok tani utk penyuluhan Pertanian ORGANIK. Mendorong untuk bertani scr ramah lingkungan, non-kimia, menyehatkan dan mampu brdaulat scr pangan. Menyadarkan petani semata-mata utk tdk menjadi obyek produk perusahaan trans-nasional. Ini nasionalismeku!"
Gons, 30 tahun, Pematangsiantar

"Gue cuma pake 6 gayung skali mandi. Kalo keramas, nambah 2 gayung. Ini bentuk nasionalisme gw demi menjaga lingkungan Indonesia, apalagi nggak semua orang di Indonesia punya akses terhadap air bersih"
Svetlana, 19 tahun, Yogyakarta

Gw cinta budaya Indonesia! Sampe skarang gw masih suka maenin permainan 'asli Indonesia' seperti bekel, congklak, gw pikir permainan indonesia bener ga ada matinya. Sampai sekarang permainan kayak gitu tetap seru, itu dia yg bikin gw cinta indonesia"
Gracia, 16 tahun, Jakarta

Dengan bersepeda ke kantor walau 2x seminggu dan selalu memanfaatkan kertas bekas di kantor dapat membuat bumi Indonesia lebih sehat, ini nasionalisme gw."
Petrus Simanjuntak, 27 tahun, Bekasi

"'Pemulung' itulah sebutan yg dilontarkan teman-teman utk saya. Karena saya sering memungut sampah dimanapun ebrada. Tak jarang saku saya tebal, bkn krn uang banyak, tapi krn penuh dengan bungkus permen. Inilah expresi nasionalisme saya!"
M. Sholich Mubarok, 21 tahun, Demak

"Tugasku menjaga kerapihan barisan setiap hari Senin dan membuat kelas selalu tertib adalah bagian dari nasionalisme juga kan?"
Muhammad Rifky Ramadhani, 7,5 tahun, Depok

"Bikin kursus komputer gratis bagi anak SD, SMP, biar generasi kita melek teknologi"
Adja Djadja, 39 tahun, Bandung

"Saya dirikan LKM khusus untuk KK miskin dengan modal sendiri. Memberikan pinjaman berupa sepasang kambing untuk 47 KK miskin dengan target 800 KK miskin dalam 6 bulan dengan sistim bagi hasil 70-30."
Mulyadi, 29 tahun, Kabupaten Limapuluh Kota

"Temenku ada yg suka banget borong buku murah kalo lagi ada pameran buku, dan ternyata bukan buat dia, tapi buat dikirim ke para TKW di luar negeri sono, biar merka tetep melek informasi. Nasionalis banget yach!"
Indira Primasari, 22 tahun, Yogyakarta

"Kalo aku, sebisa mungkin selalu baca koran, mengikuti berita tv, radio, media online, terutama berita nasional, meskipun gak setiap hari. karena menurut aku sbagai generasi penerus, kita harus tahu dan peka terhadap situasi & kondisi bangsa."
Nurlinda Komala, 20 tahun, Sukabumi

"Aku terus menabung agar aku bisa jadi sarjana hukum, biar di negeriku tak lagi ada jual beli hukum."
Imam Subkhi, 23 tahun, Brebes

"Aku selalu pilih produksi dalam negeri daripada barang impor"
Y. Soenaryo, 62 tahun, Yogyakarta

"Waktu kusi perut di angkringan "JoZZ", tiba-tiba ada pengamen dan aku request lagu. "Ayo mas...kita nyanyi Indonesia Raya aja!!" dan akhirnya lagu heroik selama 62 tahun itu kita nyanyiin dengan lantang di tengah hiruk-pikuk angkringan di sudut Jogja. Ini pasti nasionalisme."
Gabriela L.D. Swastika, 18 tahun, Yogyakarta

"Nasionalisme adalah orang yang punya kesempatan besar memperkaya diri lewat korupsi tetapi tidak melakukannya. Sebagian orang bilang ini bodoh, saya bilang ini nasionalisme."
Andoko, 46 tahun, Jakarta

"Saya akan berkata DUNIA HIBURAN bukan DUNIA ENTERTAIN. Akan berujar AMAT PENTING bukan IMPORTANT BANGET. Akan mengaku SUNGGUH TERTARIK bukannya INTEREST SEKALI. Akan malu, jika terus membuat telinga Bapak/Ibu gatal-gatal."
Maria Pade Rohana, 23 tahun, Jakarta

"Kami sering berkirim e-mail dengan orang-orang dari seluruh dunia. Bisa berbicara dengan mereka dan menceritakan bahwa masyarakat Indonesia ramah, bermartabat, berbudaya, dan cerdas, sudah merupakan bentuk dari nasionalisme kami yang terealisasi."
Sodiqa & Strida, 18 tahun, Tangerang

"Gak usah muluk-muluk bicara soal nasionalisme. Aku kerja bakti RT seminggu sekali, ronda dua kali sebulan dan peduli sama tetangga kiri-kanan, depan-belakang. Itu nasionalisme banget menurut aku."
Wempy Rustikana, 39 tahun, Cirebon

"Tak perlu menjadi orang Belanda, orang New York, atau band U2. Cukup menjadi diri sendiri."
Diki Satya, 32 tahun, Jakarta

"Ketika gue bersama suporter lain berjuang antri tiket bola selama 5 jam desak-desakan di terik matahari, sampai ada yang menginap di halte bus, ada yang terluka. Ketika lagu INDONESIA RAYA berkumandang kami bernyanyi bersama disertai air mata, tepuk tangan dan berteriak sekeras-kerasnya."
Roberto Tambunan, 22 tahun, Tangerang

Kadang, saya jadi malu. Apa yang sudah saya berikan kepada Indonesia, ya? Bukan bermaksud riya' kalau saya bilang bahwa berusaha sekuat tenaga tidak berucap "secara" dalam konteks yang tidak tepat, tidak mencontek waktu ujian (dari semester 2), dan menonton partai Indonesia vs Korsel untuk kemudian menyanyikan Indonesia Raya dengan rasa bangga dan dada bergetar, serta menjadi suporter yang baik dengan tidak berbuat rusuh.

SELAMAT ULANG TAHUN INDONESIAKU!!!

12.8.07

Astro Sialan!!!


Gara-gara Astro nih, jadi nggak bisa leha-leha-malem-mingguan-di-kos-ongkang-ongkang-kaki-nonton-EPL!

Kemarin, hati saya udah riang gembira ngliat tivi kabel di kantor yang dicolok dari provider lokal nyiarin Sunderland vs Tottenham (hasil akhir 1-0, yeah Roy Keane rocks!!). Akhirnya, saya bisa juga nonton satu diantara sedikit acara di tivi yang bermutu.


Hari ini, pulang KKN jam 5 sore. Ngorok dulu ngumpulin tenaga buat kerja malam sambil nonton Manchester United vs Reading. Yah, bonusnya nonton Arsenal vs Fulham dan Chelsea vs Birmingham. Sambil berharap dua seteru besar klub favorit saya itu tumbang.

Jam 7 malam udah nyampe di kantor (maklum, kos saya kan di belakang kantor...ngesot aja nyampe, kok).

Lha dalah, ditunggu punya tunggu, kok ini channel Star Sports sama ESPN nggak ada bau-baunya Liga Inggris sama sekali? Malah adanya siaran bola penjol sama acara extreme games. Woi, bring me my EPL!!! Mana?????

Sialan nih, gara-gara Astro sialan!!! Meskipun ESPN-Star Sports (ESS) megang hak siar buat (hampir) seluruh Asia, ternyata siaran ke end-user yang senengnya nunut seperti saya mentok sama regulasi. Hee...wajar je, konon harganya 50 juta US Dolar. Ya tentu aja dia mau untung, sodara-sodara. Jadi, pelanggan tivi kabel non-Astro pun harus gigit jari ngeliat ESPN dan Star Sportsnya mejen nggak bisa nongolin aksi Cristiano Ronaldo sama Didier Drogba.


Pengen ngamuk sebenernya. Tapi, yah sudahlah, kayaknya memang saya harus rajin-rajin melototin Livescore! *sigh
-------
Logo taken from here. All copyrights belong to the respective owner

7.8.07

8 Pertanyaan Untuk Roy Suryo


Halah... Roy Suryo lagi, Roy Suryo lagi...Hai Roy!?

Pas hari Sabtu saya pertama membaca heboh-heboh ini, saya udah yakin kalo Mas Roy ini bakal bikin ribut-ribut lagi. Toh, karena hari itu kering berita, akhirnya berita ini saya push juga buat konten SMS. Nama Roy Suryo tidak saya tulis sebagai "pakar telematika" seperti yang selama ini beken, tapi cukup "pengamat informasi" saja. :D

Nah, sekarang karena ribut-ributnya beneran udah ada, saya
gatel juga nggak ikut sumbang suara. :D

Dari Roy yang mengaku menemukan
file lagu Indonesia Raya yang terdiri dari 3 stanza, kemudian terbongkar bahwa Roy cuman mengkopi dari laptop tim Air Putih. Hohoho. Konyol sekali dirimu, Roy. =))

Yeah...saya sudah sedikit banyak tahu reputasi dan sepak terjang Roy Suryo.
Ndak jelas, darimana istilah "pakar telematika" itu datang.

Simbok bilang liwat SMS, sebaiknya blogger-blogger kopdar sama Roy Suryo dan mempermalukan dia di depan umum. =)) Ekstrem. Kalau saya ketemu Roy Suryo, saya cuma pengen nanyain beberapa hal aja.

Ini dia 8 pertanyaan dari saya untuk Roy Suryo:
1. Apa singkatan KRMT di depan nama Anda?
2. Apakah Anda pernah membuka
roysuryowatch.org? Dengar-dengar, sudah nggak ada yang punya ya? Anda mau beli nggak?
3. Mengapa Anda tidak punya blog?

4. Kira-kira, siapa ya yang
nyolong parfum Anda di pesawat? By the way, parfum Anda merk apa sih?
5. Darimana Anda tahu kalau pesawat
Adam Air meledak di udara?
6. Apakah Anda pernah kuliah di jurusan sejarah?
7.
Ngapain Anda meng-SMS hampir semua wartawan, hanya buat ngasih tahu kalau Anda dipanggil sama Menbudpar dan Mensesneg?
8. Bebek apa yang jalannya cuman bisa ke kiri?


Oia, katanya, setelah heboh-heboh Indonesia Raya ini, Roy Suryo bakal
mengungkap temuan-temuannya yang lain...:-? Sensasi apalagi, Roy?

Lah, nulis Roy Suryo kok gambarnya Tukul? Ya... pengen aja... =))
=====================
Jawaban buat pertanyaan no 1 dan 8:

1. KRMT=Kanjeng Raden Mas Telematika

8. Bebek yang dikunci setang

4.8.07

The Eye



Well I guess the limit was set...
So, from now on, let's counting down days

gambar dicolong dari sini

3.8.07

Asian Cup Retrospective (2): We Were There

Saya belum pernah hadir langsung di stadion untuk nonton sepakbola. Tidak nonton klub, tidak juga tim nasional.

Kali ini, saya tak mau kecolongan. Piala Asia di depan mata. Cari-cari informasi jadwal pertandingan dan tiket. Akhirnya, saya dan kawan-kawan saya sepakat buat nonton partai Indonesia vs Korea Selatan.

Jakarta 18 Juli 2007, setelah acara nggedabrus nggak karuan kopdar di Cibubur, saya meluncur kembali ke Jakarta (dengan diiringi doa jelek lewat SMS berbunyi: "Forza Korea!!!" dari seseorang :)) ). Gelora Bung Karno, here I come...

Tiba di depan GBK, atmosfernya sungguh luar biasa. Puluhan ribu manusia berkumpul untuk mendukung satu tim: Indonesia.

Foto 1: Saya dan Ipung di depan GBK

Masuk ke stadion, atmosfernya lebih membahana (pas nggak sih diksinya? :p). Hampir 90.000 pasang mata tumplek blek ke stadion yang berdiri tahun 1960 tersebut.

Foto 2: Puluhan ribu suporter Indonesia memadati Stadion GBK

Saat koor puluhan ribu manusia itu menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, saya merinding. Hati saya bergetar. Saya tidak tahu, apakah perasaan ini hanya menghinggapi saya yang baru kali pertama menginjakkan kaki di stadion, atau juga dirasakan puluhan ribu orang lainnya. Entahlah...

Foto 3: Koor 90 ribu manusia

Sepanjang pertandingan, para suporter terus berteriak, "Indonesia, Indonesia". Ditimpahi tabuhan drum, stadion riuh rendah oleh suara suporter. Juga nyanyian, "Ayo, ayo Indonesia... Ku ingin, kita harus menang!". Gelombang Mexican wave, lagi-lagi membuat saya merinding dan bergetar. Unbelieveable!

Foto 4: Saya juga ikut teriak

Meskipun akhirnya timnas Indonesia kalah 0-1 dari Korsel, saya nggak kecewa sudah jauh-jauh datang. Pengalaman sekali seumur hidup. Dalam 20 tahun, belum tentu atmosfer seperti ini bisa berulang lagi.

Foto 5, 6, 7: Wajah-wajah penonton yang kecewa

Setidaknya, bisa buat bahan cerita buat anak cucu saya nanti. "Bapakmu, dulu pas masih muda dan nggantheng-ngganthengnya, pernah nonton Piala Asia di stadion".

Rasa sedih, kecewa, capek, tertutupi oleh eforia. Because, we were there!!!

Foto 8: Yes, we were there!!!

Asian Cup Retrospective (1): Mereka Yang Tak Ber-Tanah Air


Bayangkan Anda adalah manusia yang tak memiliki tanah air. Mungkin, Anda tak mengenal kata "pulang". Buat Anda, rumah adalah sesuatu yang jauh. Mengawang. Sekedar imajinasi kosong. Mengelana, mengembara. Lantas perlahan lupa kepada awal dari diri kita.

Bila Anda ingin tahu contoh manusia-manusia yang tak ber-tanah air, lihatlah tim sepakbola Irak. Sungguh nelangsa.

Irak dengan gilang gemilang merebut Piala Asia 2007. Inilah kali pertama mereka merebut titel sepakbola paling bergengsi di Asia. Dalam partai final di Jakarta, Irak mengalahkan tetangganya, Arab Saudi 1-0.

Sebuah sundulan dari in-and-out leader mereka, kapten Younes Mahmoud Khalef, membungkam pasukan Rajawali Hijau Arab Saudi.

Keharuan tertangkap dari raut muka para pemain Irak. Mereka tentu saja teringat keadaan di kampung halaman mereka. Negeri yang tercabik-cabik perang. Bom bunuh diri, pembunuhan, dan penculikan terjadi di mana-mana. "Di Baghdad, Anda takkan tahu siapa yang akan membunuh Anda hari ini", ucap seorang pemain.

Irak, mereka yang terfragmentasi, ternyata bisa memberi obat luka yang manis. Saya yakin, di dalam tim Irak, ada yang Sunni, ada yang Syiah, ada yang Kurdi, dan bahkan mungkin ada yang Kristen. Tapi mereka bersatu. Mereka maju dengan gagah berani. Dipimpin pria setengah baya, Jorvan Vieira yang Katolik.

Mereka tumbangkan satu dari banyak penjajah mereka, Australia. Mereka kalahkan lawan-lawan yang memiliki organisasi sepakbola lebih teratur. Mereka membungkam negeri-negeri makmur yang bergelimang dinar. Mereka pukul telak negara dengan pendapatan per-kapita jauh di atas mereka.

Irak memberi contoh nyaris sempurna tentang apa itu arti persatuan.

Tapi pedih. Para pahlawan rakyat itu tak bisa berpesta di negeri sendiri. Karena pertimbangan keamanan, Irak menggelar perayaan di Dubai, Uni Emirat Arab dan bukan di Baghdad, Basra, atau kota mana pun di Irak. Di antara gembira, ada kepedihan. Di tengah pesta, ada duka merayap di hati mereka.

Mereka tak bisa bersuka ria di depan para kerabat yang menunggu. Tak ada tukar peluk cium dengan rakyat yang sudah mendukung dan mendoakan mereka. Sedih? Pasti. Mereka adalah: yang tak ber-tanah air.

Foto: Ed Wray/AP